Mediatamanews|Badung – Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar dibawah kepemimpinan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Agus Andrianto ini kembali mendeportasi WNA di Bali, yakni seorang pria WN India berinisial VBM (23) karena melakukan pelanggaran keimigrasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Ayat 1 Jo. 78 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dalam ketentuan Pasal 78 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian menyebutkan bahwa Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah
berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu Izin Tinggal dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi dan Penangkalan.
Kepala Rudenim Denpasar Gede Dudy Duwita menjelaskan VBM pertama kali tiba di Indonesia pada 19 April 2024 melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai dengan menggunakan Visa on Arrival (VoA). Ia kemudian memperpanjang izin tinggalnya, namun izin tersebut telah berakhir pada 17 Juni 2024, membuatnya tinggal di Indonesia lebih dari 60 hari tanpa izin yang sah, tepatnya selama 91 hari.
Selain melanggar aturan keimigrasian terkait overstay, VBM juga mengaku kehilangan paspornya sekitar dua bulan yang lalu saat berada di Uluwatu. Namun, ia tidak melaporkan kehilangan tersebut ke pihak berwenang karena takut akan konsekuensi hukum yang bisa timbul.
Selama berada di Bali, VBM tinggal sendiri di sebuah vila di Jl. Pantai Batu Mejan, Canggu, Kec. Kuta Utara, dan menghidupi dirinya dari tabungan pribadi serta kegiatan trading saham India. Namun, pada 16 September 2024, VBM diamankan oleh pihak Kepolisian Sektor Kuta Utara setelah dilaporkan oleh pihak pemilik vila, restoran, dan rental motor karena tidak dapat membayar tagihan sewa yang telah jatuh tempo. Ia menjanjikan untuk membayar setelah mentransfer uang dari rekening bank India melalui temannya, namun proses transfer terhambat akibat hari libur nasional.
Akibat pelanggaran yang dilakukan, VBM tidak hanya melanggar pasal terkait izin tinggal, tetapi juga telah mengganggu ketertiban umum. Atas dasar itu, Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai memutuskan untuk melakukan tindakan administratif berupa deportasi terhadap VBM. Karena pendeportasian tidak dapat dilaksanakan pada kesempatan pertama, VBM dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi Denpasar pada 17 September 2024 sambil menunggu proses penelusuran keberadaan paspornya dan proses pendeportasian VBM.
Dudy menjelaskan bahwa setelah WNA tersebut menjalani masa pendetensian di Rudenim Denpasar, upaya keras dari pihaknya untuk mempersiapkan proses pendeportasian akhirnya membuahkan hasil. VBM, yang telah didetensi selama 66 hari, akhirnya dapat diberangkatkan ke negara asalnya. VBM dideportasi melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada 22 November 2024, dengan tujuan akhir Mumbai Chhatrapati Shivaji Maharaj International Airport dengan pengawalan ketat petugas.
Gede Dudy menegaskan, bahwa upaya deportasi ini adalah bagian dari komitmen pihaknya dalam menegakkan hukum dan menjaga ketertiban di Bali. “Kami akan terus bertindak tegas terhadap setiap warga negara asing yang melanggar ketentuan keimigrasian, terutama yang berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban di wilayah ini. Bali adalah destinasi wisata internasional yang harus tetap aman dan nyaman bagi semua pihak. Tindakan seperti deportasi adalah langkah yang kami ambil untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan,” ujarnya.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, Pramella Yunidar Pasaribu, juga memberikan penekanan pentingnya pemahaman terhadap aturan bagi warga asing yang berada di Indonesia. “Kasus ini menjadi pengingat bagi semua warga negara asing yang berkunjung ke Bali atau wilayah Indonesia lainnya untuk selalu mematuhi ketentuan yang berlaku. Kami berharap kejadian ini tidak terulang kembali dan Bali tetap menjadi tempat yang aman dan tertib bagi wisatawan dan penduduk asing yang menghormati hukum,” tuturnya. “Penegakan hukum yang tegas dan adil adalah komitmen kami untuk menjaga Bali sebagai destinasi yang nyaman dan teratur bagi semua,” tambahnya.
“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Selain itu, keputusan penangkalan seumur hidup dapat dikenakan terhadap Orang Asing yang dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Namun demikian, keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” tutup Dudy. (Ian Rasya)