Mediatamanews|Badung – kembali menjadi sorotan setelah WNA dideportasi dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar sebagai respons terhadap serangkaian pelanggaran hukum imigrasi dan tindakan gangguan ketertiban di wilayah tersebut. Satker Keimigrasian di bawah naungan Supratman Andi Agtas menegaskan komitmennya untuk menjaga ketertiban dan menegakkan aturan hukum imigrasi di Indonesia dengan mendeportasi satu WNA berkebangsaan Ukraina berinisial IN (35), yang melanggar Pasal 75 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dalam Pasal 75 UU No. 6 Tahun 2011 disebutkan bahwa Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.
Kepala Rumah Detensi Imigrasi Denpasar Gede Dudy Duwita menerangkan bahwa kejadian bermula pada 26 dan 27 Februari 2024, ketika IN ditemukan memasuki salah satu kamar hotel di Kuta Selatan tanpa izin, menyebabkan gangguan ketertiban umum di area pantai hotel tersebut. Setelah memeriksa CCTV dan memantau keadaan, pihak keamanan hotel berhasil mengamankan IN setelah sebelumnya terjadi perlawanan, kemudian menyerahkan IN kepada Kepolisian Sektor Kuta Selatan, yang selanjutnya meminta bantuan dari Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai untuk melakukan deportasi.
Pada tanggal 29 Februari 2024, pihak Imigrasi menjemput IN dari Kantor Kepolisian Sektor Kuta Selatan. Namun, hampir selama satu bulan pendetensian di Imigrasi, IN menunjukkan sikap yang tidak kooperatif dan mengklaim dirinya dalam kondisi tidak sehat, baik jasmani maupun rohani, sehingga tidak dapat memberikan informasi atau menunjukkan dokumen identitasnya dan mengaku bernama David Goliaf.
Upaya investigasi lebih lanjut dilakukan pada 17 April 2024, ketika petugas Rudenim Denpasar berhasil mendapatkan pengakuan dari IN bahwa paspornya tersimpan di sekitar sebuah hotel mangkrak di Kuta Selatan. Setelah dilakukan pengawalan dan pencarian oleh lima petugas bersama IN di lokasi yang disebutkan, termasuk di sebuah hotel mangkrak di kawasan tersebut, ditemukan paspor Ukraina atas nama IN dan barang-barangnya di kamar hotel yang sudah tidak beroperasi tersebut.
Setelah paspornya ditemukan, diketahui bahwa IN masuk ke Indonesia dengan Visa on Arrival (VoA) pada 21 Maret 2024. Berdasarkan informasi yang diperoleh, IN berdalih pindah dari hotel ke hotel dengan menyelinap tanpa membayar karena telah kehabisan uang dan alasan kenyamanan. Diketahui pula bahwa ia memiliki visa pekerja multiple-entry ke Kanada yang masih berlaku hingga 31 Maret 2025.
Setelah melalui proses hukum dan mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan, pada tanggal 27 Agustus 2024 setelah menjalani total pendetensian selama 133 hari, IN dideportasi dengan pengawalan ketat dari Rudenim Denpasar menuju Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dengan tujuan akhir Ukraina. IN juga diusulkan untuk dimasukkan dalam daftar penangkalan Direktorat Jenderal Imigrasi agar tidak dapat kembali masuk ke Indonesia.
Rudenim Imigrasi Denpasar menjalankan tugasnya dengan serius dalam menegakkan hukum imigrasi. WNA tersebut telah dideportasi dari Bali sebagai langkah penegakan hukum imigrasi yang konsisten. Deportasi ini tidak hanya sebagai hukuman, tetapi juga sebagai peringatan bagi WNA lainnya untuk mematuhi aturan hukum imigrasi di Indonesia demi menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah tersebut.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, Pramella Yunidar Pasaribu, memberikan tanggapan terkait deportasi ini. Ia menyatakan bahwa tindakan tegas ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas hukum di Indonesia. “Kami akan terus memantau dan memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum, terutama yang terkait dengan keimigrasian, ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Ini adalah upaya kami untuk menjaga Bali tetap aman dan tertib bagi semua,” ujarnya.
“Sesuai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Namun demikian, keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya,” tutup Dudy. (Ian Rasya)